Taufiqurrahman
Lebih dari 107 tahun Baitul Maqdis berada di bawah kekuasaan Zionis Israel. Musuh Allah itu seperti watak mereka dulu, selalu membuat kerusakan di tanah yang diberkahi tersebut. Maka kita saksikan hingga saat ini bumi para Nabi itu tak pernah bebas dari konflik dan pembantaian.
Di saat bersama, dunia Islam selalu gagal menemukan langkah tepat membebaskan Baitul Maqdis. Perpecahan bahkan pertikaian diantara mereka yang berlarut-larut membuat harapan pembebasan Baitul Maqdis semakin mustahil. Masing-masing disibukkan dengan kepentingan nasionalnya bahkan ada yang berusaha mengganggu kepentingan nasional saudaranya.
Seperti kata Rasulullah ﷺ perpecahan dan pertikaian di tubuh umat Islam tak lepas dari kecintaan mereka pada dunia dan mati. Mereka rela mengorbankan kepentingan bersama bernama Baitul Maqdis demi menjaga kepentingan dunia mereka bernama nasionalisme. Saking kikirnya mereka takut menghadapi Zionis Israel yang menguasai Baitul Maqdis semata agar musuh itu tak mengganggu kepentingan nasionalnya.
Sebenarnya cinta dunia dan takut mati adalah akibat. Sebabnya adalah kebodohan dan kelemahan iman. Selama ini akal dunia Islam terjajah oleh pikiran-pikiran sesat Barat. Mereka memperbudak akal kebanyakan muslimin sehingga tunduk mengiyakan segala informasi sesat yang mereka sebar. Ujungnya banyak umat Islam yang meyakini yang batil dan meragukan yang haq.
Media dan riset dikuasai Barat. Dengan mudah mereka mendistorsi informasi dan menciptakan hoaks yang diamini banyak orang. Berapa persen umat Islam yang paham bahwa persoalan Baitul Maqdis adalah isu keIslaman? Teramat banyak yang memahaminya sebagai isu kePalestinaan saja.
Memberantas penyakit perbudakan akal inilah yang dulu jadi concern utama Nabi ﷺ di awal kenabian. Turunnya 5 ayat pertama surat Al A’laq sebagai wahyu pertama yang diterima Nabi ﷺ merupakan landasan dasar yang kokoh bagi perjuangannya membebaskan akal manusia dari perbudakan pemikiran Jahiliyyah. Dan ayat-ayat yang turun kemudian kaya akan pengetahuan di bidang aqidah. Sehingga dengan ilmu dan iman yang kokoh beliau mencabut akar-akar jahiliyah dari akal dan hati mereka.
{ ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (1) خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ (2) ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ (3) ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ (4) عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5) }
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al ‘Alaq: 1-5).
Tak luput dari narasi seputar Aqidah, sejak awal kenabian dan fase dakwah di Makkah Allah telah menautkan dengan kuat urgensi Baitul Maqdis bagi muslimin. Sepertiga Al Qur’an berisi peristiwa-peristiwa yang terjadi di Baitul Maqdis dan mayoritasnya turun di Makkah. Jika ayat-ayat Makkiyah kental akan narasi Aqidah, maka terdapat pertautan yang kuat antara Baitul Maqdis dengan aqidah Islam.
Surat-surat Makkiyah yang mengandung peristiwa di Baitul Maqdis seperti Yusuf, Maryam, Ruum, Al Isra dan lain-lain begitu terang menanamkan kesadaran dan pengetahuan yang menghubungkan Makkah dengan Baitul Maqdis. Sampai-sampai Baitul Maqdis menjadi tema pembicaraan di kalangan sahabat. Proses ini berhasil menghasilkan pengetahuan yang detail dan komprehensif seputar Baitul Maqdis pada sahabat serta menanamkan kecintaan mereka padanya.
Banyak riwayat mendeskripsikan pengetahuan para sahabat terhadap baitul Maqdis dan kerinduan serta keinginan kuat mereka menunaikan shalat ke masjid yang selama 14 tahun lebih menjadi kiblat pertama mereka. Dan Rasulullah ﷺ sukses mengkonversi pengetahuan dan azam mereka ke dalam sebuah roadmap pembebasan Baitul Maqdis. Berbagai gerakan baik politik maupun militer pun mulai dirancang dan dilakukan dalam rangka itu.
Diantara riwayat itu seperti hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Maimunah radliallahu’anha berikut:
عَنْ مَيْمُونَةَ، مَوْلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ قَالَ: «أَرْضُ الْمَحْشَرِ وَالْمَنْشَرِ ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاةً فِيهِ كَأَلْفِ صَلَاةٍ فِي غَيْرِهِ» قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَحَمَّلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: «فَتُهْدِي لَهُ زَيْتًا يُسْرَجُ فِيهِ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ كَمَنْ أَتَاهُ»
Dari Maimunah mantan budak Nabi ﷺ ia berkata: “Wahai Rasulullah, berilah kami fatwa berkenaan dengan Baitul Maqdis,” Beliau bersabda: “Ia adalah bumi Al Mahsyar dan Al Mansyar (tempat dikumpulkannya manusia pada hari kiamat), datangi dan shalatlah kalian di sana, sebab shalat di dalamnya seperti shalat seribu kali di tempat lainnya.” Aku bertanya, “Bagaimana pendapat engkau jika saya tidak bisa ke sana?” beliau menjawab: “Memberi minyak yang dengannya lampu bisa dinyalakan di dalamnya, barangsiapa melakukan itu, maka ia seperti telah mendatanginya.” (HR. Ibnu Majah)
Fatwa tersebut mendorong Maimunah bertekad mendatangi Baitul Maqdis. Hingga ia bernadzar jika Makkah dibebaskan ia akan pergi ke Baitul Maqdis dan menunaikan shalat di Masjid Al Aqsha. Ibnu Rajab dari ‘Atha bin Abi Rabah menyebutkan Rasulullah ﷺ usai mendengar nadzar itu berkata kepadanya,
لا تقَدرينَ على ذلكَ ، تحولُ بينَكِ وبينَهُ الرومُ قالتْ : آتِي بخفيرٍ يُقبلُ بي ويدبرُ . قال : لا تقدرينَ على ذلكَ ، ولكنِ ابعثِي بزيتٍ يستصبحُ لكَ بهِ فيهِ فكأنَّكِ أَتَيْتِيهِ فكانَتِ ميمونةٌ تبعثُ إلى بيتِ المقدسِ كلَّ سنةٍ بمالٍ يُشترَى بهِ زيتٌ يستصبحُ بهِ في بيتِ المقدسِ حتى ماتَتْ ، فأوْصَتِ بذلكَ
“Kamu tak akan sanggup. Sebab antara dirimu dengannya terdapat Romawi.” Maka ia berkata, “Aku akan berangkat bersama pengawal yang melindungiku dari depan dan belakang.” Nabi pun berkata, “Kamu tak akan mampu. Akan tetapi kirimlah minyak untuk menyalakan api untukmu di sana, maka kamu seperti telah mengunjunginya.” Maka Maimunah pun mengirim harta setiap tahunnya ke Baitul Maqdis untuk dibelikan minyak yang dengannya menyinari Baitul Maqdis, hingga ia wafat dan berwasiat dengan hal itu.”
Bukan hanya Maimunah, seorang perempuan lainnya pernah bernadzar jika sembuh ia akan pergi ke Baitul Maqdis untuk shalat di sana. Seperti tercatat dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu. Usai sembuh dari penyakitnya, perempuan itu pun mendatangi Maimunah radliallahu’anhu dan mengkhabarkan nadzarnya. Maimunah memintanya untuk duduk dan agar menunaikan shalat di Masjid Nabi saja. Ia kemudian mengutip hadits Rasulillah ﷺ
“صلاة فيه أفضل من ألف صلاة فيما سواه من المساجد إلا مسجد الكعبة”
“Shalat di dalamnya lebih baik dari 1000 shalat di masjid-masjid lainnya kecuali Masjid Ka’bah.” (HR Muslim)
Sahabat lain juga pernah bernadzar serupa dengan Maimunah.Disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radliallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan Ad Darimi, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah ﷺ di hari Fathu Makkah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar jika Allah bebaskan Makkah atasmu, aku akan shalat di Baitul Maqdis sebanyak dua rakaat.”
Maka Nabi ﷺ pun memintanya untuk shalat di Masjidil Haram saja. Namun rupanya lelaki tadi meminta izin kembali kepada beliau bahkan hingga 3 kali. Hanya saja Rasulullah ﷺ tetap tidak memberikan izin kepadanya.
Rasulullah ﷺ juga pernah menahan sahabat Al Arqam bin Abil Arqam saat hendak pergi menunaikan shalat di Baitul Maqdis. Beliau ﷺ lalu mengatakan hal yang serupa dengan perkataannya kepada Maimunah.
“الصلاة في مسجدي خير من ألف صلاة فيما سواه ، إلا المسجد الحرام”
“Shalat di masjidku lebih baik dari 1000 kali shalat di tempat lainnya kecuali Masjidil Haram.”
Riwayat-riwayat di atas begitu jelas menggambarkan kepada kita kesuksesan Nabi ﷺ menempatkan Baitul Maqdis pada posisi yang strategis dalam perjuangan dakwah beliau. Baitul Maqdis dengan demikian menjadi unsur yang tak terpisahkan dari sejarah, aqidah, ibadah, politik dan militer bahkan masa depan Islam dan umat Islam.
Dalam tataran pengetahuan, informasi seputar Baitul Maqdis terekam dengan baik dalam pikiran para sahabat melalui kisah-kisah dalam Al Qur’an yang berisi beragam peristiwa yang terjadi di Baitul Maqdis. Selain itu Rasulullah ﷺ juga memperkuat wawasan mereka dengan hadits-hadits berisi sejarah Baitul Maqdis, keutamaannya dan kedudukannya dalam Islam.
Dalam tataran Aqidah, tampak keyakinan yang begitu kuat dalam diri mereka masa depan Baitul Maqdis ada di tangan mereka. Keyakinan itu menggerakkan mereka untuk pergi menunaikan shalat ke Baitul Maqdis. Meski Rasul tidak mengizinkan mereka, namun justru berbuah hikmah dengan semakin besar kerinduan mereka terhadap kiblat pertama mereka itu.
Dalam tataran politik dan militer, Rasulullah ﷺ berhasil mengajarkan para sahabat wawasan geopolitik yang menjelaskan posisi mereka di hadapan dua imperium besar yang saling berebut Baitul Maqdis, yakni Romawi dan Persia. Beliau juga membimbing mereka bagaimana menciptakan situasi politik global dalam rangka meretas jalan membebaskan Baitul Maqdis melalui komunikasi politiknya yang tertuang pada surat-surat beliau ke Romawi dan Persia. Hingga akhirnya secara simultan, beliau juga terus membentangkan jalan dengan menyiapkan pasukan militer yang kuat wawasannya, kokoh aqidahnya dan tangguh fisiknya. Perang Tabuk dan beberapa perang lainnya yang mengiringi adalah jalan militer yang beliau siapkan untuk sepeninggal beliau.
Strategi tersebut menjadi sunnah yang tetap bagi generasi sesudahnya dalam perjuangan pembebasan Baitul Maqdis. Maka siapa yang berhasil menjalankan sunnah strategi itu, insyaAllah dia tengah berada di jalan pembebasan Baitul Maqdis. Sebaliknya semakin jauh umat ini dari sunnah strategis itu, maka mereka semakin terlempar jauh dari cita-cita mulia itu.
{لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab: 21)
Sunnah itulah yang ditempuh Daulah Zankiyah di bawah kepemimpinan Imadudin Zanki. Pada era Zankiyah, umat menyaksikan penguasa politik dan alim ulama bahu-membahu untuk kebangkitan Islam melalui pendidikan. Kembalinya Baitul Maqdis dari tangan Salibis menjadi buktinya.
Imadudin Zanki tahu betul bahwa Baitul Maqdis hanya bisa dibebaskan melalui persatuan wilayah-wilayah Islam, mulai dari Irak hingga Syam. Pasukan Salib yang begitu kuat bukanlah lawan sulit jika ia berhasil menyatukan umat Islam untuk melawan mereka.
Visi persatuan umat Islam yang kuat itu diwariskan dengan sangat baik kepada putranya Nuruddin Zanki. Sepeninggal ayahnya, begitu menjadi sultan Zankiyah, Nuruddin segera menerapkan berbagai strategi dalam menyusun kekuatan Muslimin. Ia pertama-tama berfokus pada persatuan umat. Sebab, masalah penting saat itu bukanlah sedikitnya orang Islam dibandingkan pasukan Salib. Kemenangan musuh, di satu sisi, menandakan bahwa jumlah yang banyak tidak akan berarti tanpa diorganisasi secara matang.
Hanya saja ia sadar bahwa penyakit utama yang merusak persatuan itu adalah wahn dan kebodohan. Maka demi mengatasinya, ia fokus memperbaiki aspek pendidikan dunia Islam saat itu. Ia mendirikan banyak lembaga pendidikan Islam di seluruh wilayah kekuasaannya.
Dalam masa pemerintahannya, studi ilmu-ilmu agama berkembang amat pesat, termasuk kajian hadis dan fikih. Nuruddin mewakafkan banyak lahan miliknya pribadi untuk kepentingan umat. Di antara tanah-tanah yang diwakafkannya, ada yang menjadi taman-taman, masjid-masjid raya, dan tentunya madrasah-madrasah.
Menurut ash-Shallabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Daulah Zankiyah, aktivitas pendidikan dan keilmuan pada masa Nuruddin bukan sekadar hasil dari lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah. Sebab, kaum cendekiawan kala itu juga memiliki rancang-bangun besar (//grand design//) yang bertujuan menanamkan keyakinan tauhid pada diri kolektif Muslimin melalui pembudayaan secara terus-menerus. Mereka bermaksud mencetak generasi yang tidak sekadar alim dunia, tetapi ukhrawi-duniawi sekaligus.
Alhasil melalui pendidikan ia berhasil memperbesar wilayah persatuan dunia Islam. Lebih dari itu, sepeninggalnya, Salahuddin yang menggantikannya berhasil menyatukan Mesir dan Syam.
Salahuddin berhasil memanen taman pendidikan yang dibangun oleh Nuruddin. Ia membentuk kekuatan militer yang merupakan alumni-alumni madrasah-madrasah yang didirikan, didanai dan dibantu pemerintah Zankiyah. Diantaranya yang menonjol adalah Madrasah Qodiriyah.
Ketika tiba saatnya, para murid itu begitu dewasa dan siap dikembalikan ke tempat-tempat perbatasan dengan musuh. Di antara mereka, ada yang menjadi prajurit atau bahkan jenderal-jenderal cerdas. Ada pula yang menjadi mubaligh, membimbing masyarakat.
Ash-Shallabi mengatakan, para alumni Qadiriyah itu dikenal dengan nama Generasi al-Maqadisah. Sebab, perjuangannya dikaitkan dengan pembebasan al-Quds atau Baitul Maqdis.
Dengan keyakinan yang sama, perjuangan pembebasan Baitul Maqdis di masa kini dan seterusnya hanya akan sukses melalui jalan persatuan dunia Islam. Umat Islam memiliki banyak faktor yang memungkinkan mereka untuk bersatu mulai dari kesatuan pokok aqidah, kesatuan kiblat hingga kesatuan ukhuwah.
Dengan keyakinan yang sama pula, persatuan itu hanya bisa dicapai melalui pendidikan alias ilmu. Persiapan ilmu harus benar-benar dijalankan dengan perencanaan yang matang dan strategis. Pusat-pusat studi Islam harus menjamur di dunia Islam dan non Islam. Dan seperti yang dilakukan Daulah Zankiyah, di setiap pusat-pusat pendidikan itu, kajian studi Baitul Maqdis harus mendapat prioritas utama.
Namun pusat-pusat pendidikan itu harus memiliki visi yang sama terkait dengan urgensi persatuan dunia Islam. Nilai-nilai toleransi dalam bermadzhab harus diajarkan dengan sangat santun namun tetap kritis.
Pada akhirnya yang diharapkan dari berdiri dan menjamurnya pusat-pusat pendidikan itu adalah melahirkan generasi yang siap menerima perbedaan dan berani mengedepankan persatuan. Generasi ini harus mengisi pos-pos kepemimpinan umat dan keulamaan mereka. Sinergi yang kuat antara umara dan ulama akan melahirkan generasi yang kuat, tangguh dan loyal. Kita bisa membayangkan betapa agung peradaban muslimin kelak di bawah kepemimpinan yang dekat dengan ulama. Dari situ, perjuangan pembebasan Baitul Maqdis tidaklah sulit yang dibayangkan. Seperti mudahnya musuh-musuh Islam saat ini menguasai Baitul Maqdis dan melakukan pembantaian terhadap saudara-saudara kita di Gaza tanpa ada perlawanan berarti dari negeri-negeri muslim.
+ There are no comments
Add yours